Kamis, 04 Januari 2018

ATMAKU DI CANGKIR KOPIMU -- Sebuah Cerpen

 Kau tak pernah tahu bahwa atmaku merasuki cangkir kopi yang bibirnya selalu kaukecup berkali-kali tiap pagi. Yah, mumpung pintu akhirat belum terbuka buat atmaku, apa salahnya kalau aku menunggu di cangkir kopimu untuk entah berapa lama? Toh, kaulah yang membikinku mati sebelum ajalku yang sesungguhnya tiba. Tapi tak apa, aku tak marah padamu—lagi pula, mana ada lelaki yang bisa marah kepada wanita secantik dirimu?
            
Tiap pukul delapan pagi, tubuhku selalu menerima air mendidih yang kaugunakan buat melarutkan serbuk kopi. Setelahnya, aku akan merayakan kehidupan dengan upacara ngopi yang kau adakan di beranda rumahmu. Empuk bibirmu akan hinggap di padat bibirku berkali-kali hingga kopi di tubuhku habis—mengalir ke lambungmu yang dipenuhi rahasia.
            
Pukul sembilan pagi, lelakimu akan muncul dari balik gerbang, menyapamu yang duduk manis di beranda bertemankan tubuhku yang telah kosong dari kopi. Kalian lalu bercumbu mesra di hadapanku, dan tentu saja akan ada sesuatu yang diam-diam membara di dalam diriku. Tapi kini aku tak bisa berbuat apa-apa.


***

Namamu adalah Pisau. Setiap kau meletakkanku di rak bersama sekawanan piring, gelas, dan mangkuk—aku adalah satu-satunya cangkir yang kau punya—aku selalu dibayang-bayangi oleh kematianku sendiri.
            
Namamu adalah Pisau. Tapi kenapa waktu itu kau membunuhku bukan dengan sebilah pisau? Kupikir orangtuamu menamaimu seperti itu karena mereka ingin suatu saat kau membunuh seseorang menggunakan sebilah pisau.
            
Namamu adalah Pisau. Meski kau tak membunuhku dengan sebilah pisau, setidaknya kau membunuhku dengan sesuatu yang juga tajam. Sesuatu yang tajam itu menguras habis darahku, sebelum mengeluarkan atmaku yang kini berada di cangkir kopimu.
            
Namamu adalah Pisau. Di dapur di mana rak ini berada, kau sedang memasak sesuatu, dibantu oleh lelakimu.
            
“Bukankah aroma masakan ini membangkitkan gairah, Kapak?” tanyamu.
            
“Ya, sebagaimana aroma tubuhmu, Pisau.” Perlahan lelakimu melingkarkan tangannya, yang sedikit ternodai oleh suatu bumbu, di pinggangmu, dari belakang. “Tapi, apa yang sebenarnya sedang kita masak? Aku belum kau beri tahu.”
            
“Kita sedang memasak sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang bisa meledak,” jawabmu. “Jadi, masakan ini nanti akan kita makan bersama dalam satu piring. Jika kita memang berjodoh, maka makanan ini akan membuat kita bergairah. Tapi, kalau kita tidak berjodoh, kita berdua akan … BUMMM!!!
            
“Ledakan dari mulutmu membikinku kaget, Pisau!” Kapak pun menggelitik perutmu, dan kau cekikikan.
            
Diam-diam, sesuatu di dalam diriku meledak sekaligus bergairah.
            
“Setidaknya, kalau kita berdua meledak,” lanjut Kapak, “kita bisa bercinta di akhirat.”
            
“Jangan di akhirat, Kapak. Nanti para malaikat iri!”
            
Lantas kalian berdua tertawa terbahak-bahak.


***

Meja makan itu terletak di ruang makan yang terpisah tanpa sekat dari dapur, sehingga dari rak ini aku dapat menyaksikan kalian yang sedang makan bersama—sepiring.
            
Rupanya masakan itu tidak meledak, melainkan membuat kalian bergairah. Lantas kalian berdua memutuskan untuk pergi ke kamar tidur. Dan, kau membawa serta aku sebagai wadah air mineral yang telah melarutkan obat penguat—tumben-tumbennya yang kutampung bukan kopi.
            
Di meja di kamarmu, aku yang telah kosong—setelah lelakimu menenggak habis air mineral bercampur obat penguat itu—terduduk tanpa daya di samping sebuah ponsel yang tidur telungkup, mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
            
Oh ya, ini adalah percintaan kalian yang pertama. Dan terakhir ....


***

“Bagaimana permainanku tadi, Pisau?” tanya Kapak setelah berpakaian.
            
“Kau yakin ingin tahu jawabannya?” katamu, dengan raut wajah yang sungguh menantang dan membuatku ingin menerkam wajahmu!
            
“Tentu aku ingin tahu, Pisau.”
            
Kau malah cekikikan, Pisau. Kau malah cekikikan! Di wajah Kapak pun terlihat tanda tanya sebesar Empire State Building yang terus berdenyut karena memerlukan asupan jawaban sesegera mungkin.
            
“Cepat jawab, Pisau,” ujar Kapak, berlagak manja. “Apa permainanku tadi hebat? Apa permainanku tadi melebihi nikmatnya secangkir kopimu tiap pagi?”
            
Tiba-tiba ponsel di sampingku berhenti mengeluarkan kefanaan musik jazz dari speaker-nya.
            
Heninglah sejenak sebelum kau menjawab, “Sayangnya tidak, Kapak.”
            
“Tidak? Apanya yang tidak, Pisau?”
            
“Permainanmu tak melebihi kenikmatan secangkir kopiku saban pagi.”
            
“Tidak mungkin.” Suara Kapak bergetar, tatapannya menyiratkan ketidakpercayaan. “Kau pasti sedang bercanda, Pisau.”
            
“Tidak, Kapak,” balasmu. “Aku serius. Kau payah sekali. Malah cumbuanmu tak lebih nikmat dari cumbuan cangkir kopiku.”
            
Diam-diam ada yang berbunga-bunga di dalam diriku.
            
“Intinya,” lanjutmu, “kau payah secara menyeluruh.” Pisau, kau tersenyum. “Apalagi, punyamu itu terlalu kecil, Kapak.”
            
Kalimat terakhirmu yang begitu tajam, setajam namamu, itu pun menusuk leher Kapak. Darahnya langsung saja muncrat ke mana-mana, termasuk ke tubuhmu dan cangkir kopi di mana atmaku berada. Kapak taklah langsung mati. Terlebih dahulu ia megap-megap seakan seluruh oksigen sengaja menghindari dirinya yang tumbang ke lantai. Lama-lama, tubuhnya menjadi seperti sebuah pulau di tengah danau darah. Sementara itu, Pisau, kau hanya tertawa terbahak-bahak seraya meraih telingaku. Lalu kita berlalu dari kamarmu, meninggalkan Kapak yang sedang menuju kematiannya.


***

Namamu adalah Pisau. Kau membiarkan Kapak mati secara perlahan-lahan dan menyakitkan di lantai kamarmu.

            
Namaku adalah Kapak. Ya, Kapak adalah dan tetaplah namaku, sekalipun atmaku telah berpindah ke cangkir kopimu ini.




*) Cerpen ini dimuat di Semay Media pada tanggal 30 Desember 2017.

Tidak ada komentar :